Thursday, September 30, 2004

Kepada Seorang Kawan

Seorang kawan yang sudah hampir tujuh tahun meninggalkan Ambon, kemarin sore mengirim email begitu melihat foto Kota Ambon yang saya pasang di blog ini. Dia rupanya ingin lihat sudut lain Kota Ambon. Untuk memuaskan rasa kangennya, ini saya upload dua foto yang sempat saya jepret di sana beberapa waktu lalu.

Foto yang satunya, saya jepret pada posisi yang berlawanan dengan foto yang memperlihatkan teluk Ambon itu. Sedangkan foto yang satunya lagi saya jepret di kawasan A.Y.Patty. Kawasan ini dulunya merupakan pusat pertokoan di Ambon. Bahkan ada yang menyebut-nyebutnya sebagai Malioboro-nya kota Ambon. Apalagi beberapa anak muda yang kreatif dan punya bakat corat-coret di atas manila karton atau kanvas, memamerkan kebolehannya di sepanjang emperan toko yang ada. Umumnya mereka pernah ke Jakarta dan sempat nongkrong untuk "nyuri" ilmu di Pasar Baroe (sebrang Kantor Pos Besar/Gedung Kesenian Jakarta). Atau juga di sepanjang Malioboro Yogjakarta. Tidak sekadar pamer tentunya, karena niat utamanya nyari duit. Terima order/pesanan. Tapi itu sebelum konflik.

Lalu, ketika konflik ecah, sebagian kecil bangunan ruko yang ada di kawasan ini hangus terbakar. Kaca seluruh ruko, pecah. Kawasan ini seperti mati tak berpenghuni. Jangan harap ada kendaraan yang lalu lalang. Pasalnya ruas jalan AY.Patty berada persis diperbatasan dua komunitas yang berkonflik. Masuk situ berarti cari mati.

Kini, ketika Ambon mulai menata diri, beberapa ruko di kawasan ini sudah digunakan lagi untuk usaha dagang. Walau sebagian bangunan lainnya masih ditempati pengungsi, atau aparat keamanan. Jika malam tiba, jalan ini agak gelap. Hanya cahaya kendaraan yang lewat atau cahaya lampu dari beberapa ruko yang ditempati sebagai penerang jalan tersebut. Meski begitu, jika malam minggu tiba, ruas jalan ini masih berfungsi seperti masa-masa sebelum konflik, yaitu tempat mejengnya anak muda Kota Ambon. Pemisah dua ruas jalan yang ditumbuhi rumput itu, biasanya menjadi tempat muda-mudi untuk sekadar berceloteh, bercengkerama atau (mungkin juga) bertukar isi hati.
Posted by Hello

Sudut Lain Kota Ambon Posted by Hello

Monday, September 27, 2004

Ambon

Ini foto Kota Ambon yang saya jepret dari kawasan Gunung Nona (tempat Stasiun TVRI Ambon berada). Di bagian atas ada bagian air yang membentuk garis horisontal, itu yang disebut Teluk Ambon bagian dalam. Sedangkan bagian putih lebar di samping kiri itu yang di sebut Teluk Ambon bagian luar.
Posted by Hello

Main Pasir Yuuukkk

Tiara and the gank, lagi asyik main pasir di pantai Natsepa, ketika September tahun lalu kami ke Ambon. Wah...sudah lama juga yah. Posted by Hello

Natsepa

Pantai Natsepa, salah satu tempat rekreasi favorit di Ambon. Posted by Hello

Ciluk Baaa...

Lagi coba upload foto dengan hallo. Ini foto anak saya Tiara (yang gede) dan sepupunya Aan. Posted by Hello

Medan Punya Kerja, Ambon Dapat Nama

Ketika saya balik dari Ambon beberapa bulan lalu, seorang teman sambil kelakar bertanya, "Bawa oleh-oleh Bika Ambon nggak Mas?"

Jelas aja aku nggak bawa. Pasalnya Bika Ambon itu oleh-oleh khas dari Medan. Katakanlah, yang punya kerja (yang capek) Medan, yang dapat nama Ambon. Saya aja sampe sekarang belum jelas hostory-nya, penganan khas Medan itu diberi embel-embel Ambon.

Memang, penganan itu dibuat juga di Ambon, meski nggak sama persis. Agak mirip lah (bilang aja satu species, gitu). Orang di Ambon menyebutnya dengan nama Babengka. Begitu juga nasibnya Pisang Ambon, yang di Ambon justru dikenal dengan nama Pisang Meja.

Lalu apa oleh-oleh khas Ambon?
Bagi yang pernah berurusan dengan orang Ambon (maksudnya bertetangga, berteman, berpacaran, atau berbesan...hehehe) pasti mengenal minyak kayu putih. Buru, tempat sastrawan Pramudya Ananta Toer melahirkan sejumlah karyanya, adalah salah satu tempat yang produktif memproduksi minyak kayu putih ini. Bagi yang sudah mencoba, pasti tau khasiatnya.

Nah kalo oleh-oleh yang berurusan dengan perut, apa dong?
Ok, kalo yang berurusan dengan perut dan khas Ambon, umumnya berbahan dasar sagu. Sagu yang dimaksud di sini yaitu sagu berbentuk lempengan, yang kemudian dihaluskan dengan proses ditumbuk. Penganan yang paling populer dari sagu ini namanya Bagea dan Sagu Tumbu.

Bagea bentuknya bulat kayak bola pingpong. Ada yang agak keras (maksudnya garing kali ya), trus ada yang agak lunak. Umumnya yang agak keras itu bikinan nenek-nenek di kampung, dengan pengetahuan atau cara pengolahan yang masih tradisional. Tapi justru jarang dimakan nenek atau kakek. Abisnya, bisa tambah ompong itu gigi. Sedangkan yang agak lunak, biasanya bikinan home industry yang dimaksudkan untuk konsumsi pasar. Ada juga yang menambahkan gula secukupnya dan kenari ke dalam adonannya, sehingga memberi rasa manis dan gurih.

Lalu, Sagu Tumbu, bentuknya bulat lonjong. Bahan dasarnya juga sagu, yang ditambahkan bubuk kayu manis (kau manis yang ditumbuk sampai halus), gula merah, dan kenari. Ehmmm...pokoknya enak deh. Mungkin karena adonannya diolah dalam lesung, dengan proses semua bahan dicampurkan lalu ditumbuk, maka diberi nama Sagu Tumbu (=tumbuk).

Kapan-kapan saya jepret biar bisa lihat wujudnya, ya? Sekarang mungkin bisa dibayangkan aja dulu.

Sunday, September 26, 2004

Sepotong Puisi

Bagi banyak orang hari Minggu adalah hari untuk istirahat. Saya juga selalu memanfaatkannya untuk beristirahat dengan Ivon (istri) dan Tiara (anak semata wayang saya). Entah sekadar nonton tayangan teve, mutar DVD, atau yang agak mengeluarkan tenaga seperti berenang bareng di Pasar Festival di daerah Kuningan, Jalan H.R. Rasuna Said. Tapi kegiatan renang ini terpaksa terlewatkan dari jadwal hari Minggu kami. Bukannya bosan, ini lantaran anak saya masih agak ngeri datang ke daerah yang beberapa waktu lalu diluluh-lantakkan oleh bom kerjaan orang-orang tak berperi-kemanusiaan itu. Jadinya kami istirahat di rumah saja.

Ivon mengisi hari Minggu ini dengan membaca "Sheila" sebuah buku tulisan Torey Haiden yang banyak diulas media massa beberapa pekan kemarin. Sedangkan Tiara menyelesaikan sejumlah PR-nya. Hari Jumat dan Sabtu kemarin dia nggak masuk lantaran diserang flu. Tadi pagi badannya mulai agak enakan, jadi sejak siang tadi PR-nya mulai dikerjakan.

Saya sendiri membenahi kembali arsip-arsip di gudang. Tumpukan koran hasil sortiran saya ikat dengan tali rafia, untuk selanjutnya dilego ke tukang koran bekas. Begitu juga dengan nasib leaflet/brosur promosi harga produk dari supermarket langganan kami. Beberapa printout-an email yang termasuk penting, saya benahi lagi sesuai urutan kronologis waktunya.

Ketika sedang asyik membenahi print-outan email itu, saya berhenti sejenak membaca sebuah puisi dari sahabat saya Rudi Fofid. Dia berasal dari Kei (Maluku Tenggara), sebuah wilayah jauh di selatan Pulau Ambon.

Saya dan Rudi bersahabat akrab ketika saya sering memasukkan karya saya di Harian Suara Maluku Ambon. Perkenalan kami terjadi sekitar tahun 1994. Ketika itu Rudi adalah salah satu redaktur di harian terkemuka di Maluku ini. Dan saya ketika itu, mahasiswa di Fakultas Perikanan Universitas Pattimura Ambon.

Catatan Pinggir untuk Anakku
Andai kau minta bumi
Maka ini bumi
Milikmu

Andai kau minta langit
Maka menengadahlah
Kepunyaanmu jua

Andai kau minta matahari
Maka bangunlah pagi-pagi
Dia tak pernah berdusta

Tapi kalau kau minta kenang-kenangan
Maka aku akan bilang tunggu dulu

Sungguh mati kalau kau minta kenang-kenangan
Maka aku akan bilang sungguh-sungguh tunggu dulu

Anakku, kau boleh ambil jiwaku supaya nyawamu dua
Anakku, boleh kau ambil tulangku, darahku, sumsumku
Semua!

Tapi kalau kau minta kenang-kenangan
Maka aku akan bilang tunggu dulu
Sungguh mati kalau kau minta kenang-kenangan
Maka aku akan bilang sungguh-sungguh tunggu dulu

Sebab dalam kenang-kenangan ada yang begitu luka parah
Berdarah
Maut
Laknat
Dendam
Benci
Mayat
Hantu
Puing
Bara
Mesiu
Pekik
Maki
Sakit Hati
Merana
Nelangsa
Pahit

Ambon, anakku!
Takan keberikan Ambon
Takan kubagi kenangan tentang anisnya bercinta di sana
Apalagi berlari di bawa asap
Takan, anakku!

(Rudi Fofid: Tomohon, Desember 2000)

Puisi itu dibuat Rudi ketika dia, istri dan anaknya yang baru berumur beberapa bulan, terpaksa mengungsi ke Manado. Mengungsi di tengah bunyi bom, asap mesiu dan bunyi renteten tembakan. Pengalaman yang juga saya rasakan. Sekarang anaknya sudah dua (anak keduanya lahir di Manado) dan mereka sudah kembali ke Ambon. Saya sendiri masih di sini, di Jakarta, dan masih punya satu anak.